Membicarakan Cinta Lewat Segelas Cokelat dan Kopi

Perjalanan kali ini seperti ada sesuatu  yang istimewah. Di bulan yang sama 10 tahun lalu, adalah kali pertama saya menjejakan kaki di tanah Sumatera, tepatnya di Jambi. Hari ini pun saya kembali ke tanah itu, meski di tempat yang berbeda, yakni di Lampung.

Tujuan saya tidak jauh beda, berkaitan dengan tanaman perkebunan. Kalau dulu saya bersentuhan dengan pembibitan tanaman karet, kali ini lebih banyak ke produksi dan pascapanen kakao dan kopi. Sangat menarik menghadapi kultur dan aktivitas budidaya masyarakat di tempat yang berbeda. Dua hal yang selalu saya syukuri bahwa di tempat-tempat yang belum terpikirkan untuk saya jejaki, ada orang-orang yang menerima kehadiran saya dengan baik. Selain itu, saya selalu bersyukur bahwa sesungguhnya saya ini begitu kecil dan tak berarti, sehingga saya harus belajar dan banyak belajar.

Setelah beberapa hari di kota Bandar Lampung, melihat gudang serta rumah produksi coklat, bersama Pak Sapril dan Pak Hapri, dipandu oleh Mas Widi, akhirnya kami akan bertolak menuju Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat. Kondisi kami sebenarnya belum sepenuhnya fit karena masih dalam tahap adaptasi, tapi ada hajatan yang harus dikerjakan dan diutamakan. Pagi yang hangat bersama gelas-gelas kopi dan potongan buah pepaya, kami larut dalam cerita yang panjang akan hidup yang diidamkan. Sebagai seorang yang masih lajang di antara mereka, saya tentunya banyak mendapat pelajaran penting pagi ini. Kopi yang nikmat.

Tak terasa waktu berlalu, Mas Widi datang menjemput kami. Segera lah kami bergantian mandi dan mengemas barang yang akan kami gunakan selama berada di Lampung Barat. Usai duhur kami pun meninggalkan kota Bandar Lampung menggunakan travel. Kami dilangsir pada sebuah tempat yang menyeriupai terminal bayangan antar kota dalam provinsi. Karena belum makan sedari pagi, kami putuskan untuk mengisi lambung dulu.

Perjalanan selanjutnya diwarnai dengan hujan, disertai petir dan kilat. Sepertinya November rain sedang enak-enaknya untuk didendangkan. Jalanan beraspal berujung berganti perkerasan. Hujan tidak juga reda. Dari pembicaraan Mas Widi lewat telepon, dia menyebutkan posisi kami sudah berada di Blok Tiga. Saat itu, saya melihat angka di jam tangan menunjukkan pukul delapan malam. Di sisi kiri dan kanan jalan hanya terlihat semak yang dari bunganya yang berjambul adalah kaliandra merah. Di atas kendaraan, tak memilih genre musik apa yang dimainkan oleh tape mobil, badan tetap digoyang.

Memasuki wilayah Blok Sembilan, jalanan mulai menanjak tajam dan berkelok. Hasrat ingin pipis tak tertahankan. Kepada pengemudi, kami minta untuk dipinggirkan. Kata Pak Sopir, “Jangan di sini Pak, di atas saja setelah Blok Sepuluh. Soalnya kawasan ini masih jalur perlintasan gajah.” Kami pun sontak menjawab, “Di tempat yang aman saja kalau begitu.” Mas Widi bisa saja melucu, katanya, “Kalau ada serangan gajah, mudah saja sebenarnya, tinggal telanjang lalu posisi kayang. Gajahnya akan bilang kalau itu anaknya karena belalainya masih kecil. Di Blok 10, tampak dua mobil bak terbuka dan satu truk yang terjebak di jalan yang memang licin, berlubang dan berlumpur. Hujan baru turun dalam tiga hari belakangan.

Setelah tiba di Suoh, kami disambut oleh teman-teman yang selama ini mendampingi petani kakao di sana. Seorang perempuan yang disapa ‘Bibi, juga turut menyambut kami. Bibi yang tidak lain adalah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk bidang kesejahteraan rakyat.  Sepertinya Ibu ini memang akrab dengan lingkungan di sekitar Suoh.

Setelah Mas Widi menceritakan keseruan perjalanan kami, beliau membenarkan bahwa belum lama ini ada pelepasan 18 ekor gajah untuk diliarkan. Gajah ini cenderung tidak takut dengan kehadiran manusia sebab lama bersinggungan di penangkaran. Dalam tempo dua bulan terakhir, gerombolan gajah-gajah ini telah meratakan dua rumah penduduk yang berada di sekitar Blok Lima. Selain gajah, kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) juga masih memiliki badak, beruang, dan harimau. Kondisi ini kemudian sangat potensial terjadinya konflik kepemilikan lahan antara masyarakat dengan kawasan konservasi.

Sedikit memicu kernyitan dahi saya. Pasalnya, sepengamatan saya, kami telah memasuki wilayah permukiman yang padat penduduk. Rata-rata berjejer rumah-rumah permanen dengan perangkat pemerintahan yang secara administratif sah oleh negara. Sambil menikmati makan malam yang telat, kami menyusun rencana kegiatan selama di Suoh lalu beranjak tidur untuk memulihkan stamina.

Pagi datang begitu cepat dan kami masih dipengaruhi oleh Waktu Indonesia Tengah. Usai ibadah subuh, kami sempatkan berjalan-jalan mengikuti jalan desa, melihat kiri kanan jalan, mengamati aktivitas masyarakatnya kala pagi. Kabut dari balik bukit di antara rimbun pepohonan membuat pagi begitu magis. Ada yang menjemur pakaian, ada yang membersihkan biji kakao kemudian mendedernya di lantai jemur. Ada juga yang jongkok di tepian sungai, sepertinya untuk melepas hajat. Mata saya tertuju pada pepaya-pepaya yang menguning di pohon, beberapa sudah bolong oleh santapan burung. Tak jauh kami berjalan, kami putuskan berbalik arah.

Kopi hitam agak manis yang dari aromanya, khas robusta, sudah menyambut. Masih tersisa sepertiga gelas kopi, Mas Widi sudah mengarahkan kami untuk menuju ke rumah Pak Kirno, salah satu petani dampingan mereka. Katanya, di sana telah ada beberapa petani yang berkumpul. Pak Kirno adalah salah satu petani teladan yang sudah mampu mengembangkan pembibitan kakao dengan klon unggul, termasuk klon dari Sulawesi Selatan.

Sebagai pembuka, Mas Widi mengemukakan bahwa ke depannya akan diusung program yang lebih kompleks dan terintegrasi, mulai dari pembibitan hingga pengolahan biji kakao yang berkualitas premium. Untuk itu, diperlukan pembinaan kelompok yang tentunya diawali dari inventarisasi aset kelompok tani yang ada.Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Pak Sapril, bahwa budidaya kakao mensyaratkan petani yang rajin sehinga GAP (Good Agriculture Paractices) merupakan solusi cerdas bagi petani di kebun. Jika krisis kakao tahun 2020 terjadi, bagaimana petani lampung bisa berkontribusi sebagai pemasok biji kakao yang memang masih potensial, terutama di Suoh.

DSC00345
Bersilaturrahmi dengan petani kakao dan kopi di Suoh.

Secara matematika, Pak Sapril mengakatakan bahwa untuk satu hektar pertanaman kakao, dapat meraup hasil enam juta rupiah per bulan. Hitungan tersebut sebenarnya sudah di atas standar miskin di Amerika. Kenyataannya, petani masih selalu saja merasa rugi bahkan berutang. Selain kendala budidaya, manajemen di dapur juga turut andil.

Pak Wahyudi, salah seorang petani kakao dan kopi mengungkapkan bahwa perawatan kakao lebih ringan dibandingkan dengan kopi. Dibenarkan oleh Ibu Sundari, bahwa biaya produksi untuk kopi lebih mahal dari kakao. Kopi lebih sensitif terhadap cuaca sehingga potensi kehilangan produksi lebih besar dengan dunia yang anomali iklim seperti dekarang. Ini menjadi peluang yang besar untuk menjadikan Suoh sebagai sentra pengembangan tanaman kakao. Mas Widi menambahkan bahwa, selama ini petani kehilangan penghasilan antara Rp. 2.500,00 – Rp. 3.000,00 akibat jalur perdangan yang panjang. Jika itu bisa lebih ditertibkan, untuk luasan sehektar dengan produksi  1-1,5 ton per tahun, maka mustahil petani tidak mampu membeli pupuk.

Setelah diskusi ringan pagi ini, kami kemudian mengunjungi kebun Mas Kirno, salah satu petani yang menjadi binaan PD. PKL (Perusahaan Dagang Petani Kakao Lampung). Perjalanan yang menanjak dan cukup curam dengan tanah yang basah harus dilewati. Kondisi kebun cukup baik dengan tanaman kakao yang telah direhabilitasi melalui sambung samping serta penanaman ulang sulaman pohon mati. Di halaman rumahnya juga dijadikan lahan pembibitan kakao dengan teknik sambung pucuk. Harga bibit sambung pucuk sangat menjanjikan, yakni Rp. 10.000,- per polibag. Sepulang kunjungan kebun, kami  pun disajikan makan siang.

DSC00354
Kakao hasil sambung samping milik Pak Kirno.

Kunjungan selanjutnya ke pembibitan milik  Adi. Mas Adi ini masih sangat muda, lebih muda dari saya, belum berkeluarga, tapi berani menginvestasikan dana dan tenaganya untuk membibitkan kakao, baik untuk ditanam sendiri maupun untuk dijual. Karena masih pemula, tingkat keberhasilan sambungannya masih rendah, ditambah dengan serangan jamur dan kutu putih pada bibitnya. Tapi, itu bukan alasan bagi Adi untuk berhenti belajar.

DSC00387
Rumah pembibitan kakao yang didampingi oleh PD. PKL.

Setelah berbagi pengalaman, kami pun beranjak menuju Danau Purba yang ada di Suoh. Berdiri di atara alang-alang dengan terpaan sepoi angin seperti ingin merebahkan diri saja. Cuaca berubah, cerah langit berganti gelap. Hujan deras menyapa kami sehingga enggan untuk beranjak. Kami memilih berteduh di warung yang ada melawan dingin dengan segelas kopi.

dsc00395-023672002016671380708.jpeg
Salah satu sudut yang menawan di Danau Purba Suoh.

Setelah hujan reda, kami melajutkan perjalanan ke rumah Pak Sugito yang juga mitra dari PKL. Sejenak berbincang tentang rencana panjang yang akan dilaksanakan, kami pun disuguhi makan malam. Tak terasa malam semakin pekat,sementara di rumah Mas Kirno sudah ada 50-an petani berkumpul. Walau gerimis, kami pun bergegas ke sana dengan kendaran sepeda motor. Pertemuan ini sejatinya adalah brainstorming dalam rangka penyusunan usulan ke penerintah agar memasukkan pembinaan petani kakao dalam agenda kerjanya.

Sebagaimana yang diutarakan oleh Pak Sapril bahwa petani harus mampu menguasai informasi dan melek teknologi karena hal itu bisa dimanfaatkan secara positif dalam pengembangan komoditas unggulan. Ibu Sundari sendiri siap mengawal usulan-usulan yang bisa mengangkat perkakaoan di Suoh. Beberapa usulan yang dihasilkan adalah mengarahkan Suoh sebagai sentra kakao karena memang potensinya cukup bagus. Perlunya pembentukan kelompok tani yang definitif sehingga lebih terorganisasi. Perlunya pembinaan petani dalam rangka peningkatan kapasitas sumber daya manusia petani. Duskusi yang cukup panjang namun penuh semangat membuat kami begitu antusias mengikuti, meskipun sudah seharian kami beraktivitas hingga lupa kalau kami pun belum ada yang mandi dan ganti pakaian. Itu bukan masalah, toh tak ada yang menanyakan. Kopi gelas keluma pun saya tuntaskan sebelum tidur.

DSC00408
Petani yang antusisa mengikuti pertemuan seperti tak kenal lelah setelah beraktivitas seharian di kebun.

Hari ini (6 November 2018), kami akan menghadiri workshop pengembangan komoditas kopi dan kakao di Liwa, ibu kota Lampung Barat. Di sana, kawan kami, Mas Tomy dan lainnya sudah lebih awal tiba. Sementara itu kami masih melawan udara dingin Suoh untuk bergegas mandi lalu bertolak ke Liwa. Tiga jam perjalanan bukanlah sesuatu yang mudah lantaran rute yang dilewati cukup memicu adrenalin. Tanjakan, turunan, jurang, ancaman longsor, jalan yang tak mulus bisa saja menyandung perjalanan kami. Beruntung ketika sampai di Aula Bappeda Liwa, workshop belum dimulai.

Setelah Ibu Tri Umaryani, Kepala Dinas Perkebunan Lampung Barat, membuka acara workshop. Ibu Sundari yang diberi kesempatan pertama berbicara kembali menyuarakan aspirasi dari masyarakat Suoh, untuk menjadikan Suoh sebagai pusat pengembangan komoditi kakao. Secara resmi, Bapak Asisten II Lampung Barat, Bapak Tajuddin, menyampaikan sambutannya bahwa tidak ada masyarakat yang ingin miskin. Pemerintah lah yang bertugas memberi pelayanan kepada masyarakat untuk mencapai kesejahteraan melalui akselerasi program yang tepat sasaran. Seideal apa pun sebuah perencanaan, perlu keselarasan stakeholder di lapangan. Kebijakan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) sangat diperlukan untuk mengatur masyatakat yang telanjur ada adalam kawasan.

DSC00415
Ibu Kepala Dinas Perkebunan memimpin jalannya workshop perencanaan strategis pengembangan kakao dan kopi di Lampung Barat.

Mas Tomy mengungkapkan bahwa, PD. PKL bisa menampung semua produksi kakao dari Suoh dan Bandar Negeri Suoh. Sejauh ini pusat fermentasi mampu mengelolah 500 ton per tahun kakao basah. Pembelian juga didasarkan pada grade yang dihasjlkan oleh petani. Dari tahun 2016 hingga 2018, pusat fermentasi telah memproses 2000 – 3000 ton. Sejauh ini, telah terdata ada seluas 2.000 ha lahan kakao yang dikelola oleh 2.200 petani. Hal ini sangat potensial untuk dikembangkan.

Dilanjutkan oleh Pak Sapril, bahwa dari total biaya yang ada dalam pengolahan coklat, petani hanya mendapat nilai sebanyak 6%. Nilai selebihnya adalah milik pabrik. Nah, bagaimana membuat semangat itu hadir kembali di petani yang dimana-mana bersikap skeptis terhadap kondisi kakao kita? Dari segi pertanaman, Lampung lebih siap untuk mendapatkan keuntungan jika terjadi kelangkaan kakao tahun 2020, untuk 82 negara. Pendekatan teknologi informasi bisa mendorong petani kita memiliki semangat baru karena sifatnya lebih terbuka dan bisa diakses kapan saja.

Isu yang menarik di sini adalah Suoh disebutkan masuk dalam kawasan TNBBS. Hal ini akan dikoordinasikan lebih lanjut bersama dengan pemerintah terkait. Pak Novianto dari bagian analisis data TNBBS mengemukakan bahwa, Suoh merupakan peta konservasi Badak Sumatera oleh WWF (World Wide Fund). Namun demikian, ada luasan di Suoh yang memang bukan kawasan tapi berada dalam kawasan.

Mengenai ketelanjuran aktivitas masyarakat yang ada di dalamua, dapat diakomodasi oleh perhutanan sosial. Petugas akan dengan tegas menindaki hal-hal yang berbau pembiaran. Apalagi TNBBS sudah mendapat pengakuan dunia sebagai pusat konservasi badak dan ganah. Perhutanan sosial memang menjadi solusi bijak untukdesain kesejahteraan. Sedikit mengoceh dalam hati, secara harfiah, taman adalah tempat yang menyenagkan, mengapa aturannya seribet itu ya? Bukankah negara selayaknya memberi kesenangan pada penduduknya?

Sedikit berbeda dengan apa yang disuarakan oleh tim dari Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Suoh dan Bandar Negeri Suoh (BNS), bahwa target mereka adalah peningkatan produksi padi seperti yang dianggarkan program sebumnya. Namun tidak berarti mereka juga tidak mendukung pengembangan kakao. Hanya saja, memang dibutuhkan teknis budidaya yang baik terutama yang berda di kawasan lereng untuk pencegahan erosi dan menekan penggunaan pestisida. Sementara itu, tanggapan dari peserta lain cenderung lada masalah teknis yang semestinya sudah menjadi program untuk pengembangan bukan laginpada tataran analisa awal.

Pada akhirnya, Ibu kepala dinas mengambil kesimpulan berbentuk rekomendasi untuk ditindaklanjuti bersama. Kepada pihak TNBBS diarahkan akan melakukan koordinasi dengan BPHK 20 Bandar Lampung terkait penetapan zona dan peluang perhutanan sosial, termasuk pengusulan rezonasi yang bisa dilakukan per lima tahun sekali. Kepada BPP diharapkan untuk membentuk kelompok yang defintif agar tidak saling simpang siur. Kepada PD.PKL, diharapkan untuk tetap melakukan pendampingan dan berkoordinasi dengan pemerintah dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat. Setelah workshop ini akan dilakukan kembali pertemuan-pertemuan yang lebih spesifik diarahkan pada pengembangan dua komoditas unggulan ini, yaitu kopi dan kakao.

Usai makan siang bersama, kami pun kembali ke Bandar lampung bersama derai hujan yang membasahi jalanan berkelok. Saya sendiri akan kembali ke Makassar esok pagi untuk perjalanan lain. Sementara Pak Sapril dan Pak Hapri masih tinggal di Bandar Lampung bersama Mas Tomy untuk merampungkan kegiatan.

Membicarakan cokelat dan kopi memang seperti menuangkan dua hal yang bertaut, kehangatan dan kasih sayang. Kedua komoditi ini sangat sarat akan cinta. Untuk sukses dalam budidayanya, petani harus mencintainya karena memang membutuhkan keuletan untuk mendapatkan hasil yang optimum. Sebagai fasilitator, kita hanya orang luar, yang semoga bisa membukakan jalan pikiran mereka untuk menjaga cinta tersebut tetap menyala, agar apa yang dikatakan sejahtera bisa dirasakan bersama. Perjalanan yang menyenangkan, semoga bisa kembali di lain waktu.

Author: Enaldini

Lelaki yang jadi buruh tani, belakangan baru suka menulis. Suka club bola tempat Paolo Maldini berkiprah. Traveler gadungan yang pada prinsipnya, "Barangkali kita perlu duduk dan minum kopi bersama di depan tenda."

11 thoughts on “Membicarakan Cinta Lewat Segelas Cokelat dan Kopi”

  1. selalu iri kalau baca catatan perjalanan Kak Enal. tapi itu kak, paragraf-paragrafnya banyak yang kepanjangan. bikin capek bacanya 😀

  2. Tiba-tiba jadi ingat kerjaan lama. Salah satunya bergaul dengan petani kakao dan kopi hahaha.
    Soal lahan pertanian yang ternyata masuk taman nasional, itu sering terjadi tuh. Gara-garanya karena memang pemetaan yang belum seragam sampai tidak sadar ada lahan warga yang masuk taman nasional, atau justru taman nasional yang masuk lahan warga.

  3. Kalau nda salah, skrg jumlah pertani berkurang yah kak sejak era industri. Mudah2an saja semakin banyak wadah ntuk mengembangkan potensi petani yg sejalan dgn era skrg.

  4. Masa kanak-kanak saya dulu sering main di kebun kakek yang ditanami pohon kakao. Kalo buahnya sudah masak, saya diajak memetik kakao dan icip-icip manis asemnya kakao itu. Abis itu dijemur. Dari situ saya paham kalo coklat yang enak itu asalnya dari pohon kakao itu.

Leave a comment